OMBUDSMAN dan Komisi Informasi (KI) mendesak polisi membuka data dan informasi kasus kerusuhan pasca-demonstrasi di Jawa Timur pada 30-31 Agustus 2025. Sebab, polisi telah menangkap puluhan orang yang dicurigai terlibat kerusuhan, namun tak kunjung mempublikasikan status hukum mereka.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur Agus Muttaqin mengatakan, polisi seharusnya transparan dengan membuka data siapa saja yang ditangkap, termasuk status mereka sebagai tersangka atau saksi. “Kami tentu tidak ingin ada maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dalam penegakan hukum kasus unjuk rasa tersebut,” kata Agus lewat keterangannya, Jumat 12 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Menurut dia, Ombudsman perwakilan Jawa Timur telah mengundang Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya yang selama ini mengadvokasi para tersangka sekaligus memonitor proses hukum. Dari posko pengaduan, LBH kebanjiran laporan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat aksi anarkistis tersebut. “Kami justru tahu polisi belakangan menangkapi orang-orang itu dari informasi teman-teman LBH,” tutur Agus.
Dia mengatakan, berdasar data LBH, ada enam tersangka yang ditahan di Kepolisian Darah Jawa Timur, 33 di Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya, 12 di Kepolisian Resor (Polres) Blitar Kota, 1 di Polres Kediri Kota, 1 di Polres Jember, dan 1 di Polres Tulungagung. Sebagian dari tahanan tersebut adalah anak-anak berstatus pelajar. "Data tersebut dinamis, artinya ada peluang akan bertambah,’’ ujar Agus.
Dari data tersebut, kata Agus, polisi juga tidak mempublikasikan identitas dan status orang yang ditangkap. Selain itu, penyidik menyita telepon seluler mereka, termasuk 20 orang yang ditangkap namun sudah dilepas di Surabaya.
Agus menegaskan, sikap polisi yang enggan mempublikasi data penangkapan itu membuka peluang terjadinya maladministrasi. Bentuknya bisa berupa penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang. Maladministrasi tersebut, misalnya, soal penahanan melebihi 1x24 jam; penangkapan tanpa surat perintah; pembatasan akses informasi identitas korban; pemeriksaan tanpa pendampingan, hingga penyitaan tanpa prosedur.
Selain itu, Agus berharap polisi membuka hotline pengaduan. Tujuannya agar keluarga dari mereka yang ditangkap dapat melapor ke hotline tersebut.Hal ini sekaligus memudahkan pengawasan internal terhadap jalannya penyidikan.
Dalam kesempatan terpisah, Komisioner Komisi Informasi (KI) Provinsi Jawa Timur Sholahuddin menyatakan, transparansi adalah pilar utama dalam demokrasi. Publik memiliki hak konstitusional yang dijamin undang-undang, baik UUD 1945 pasal 28F maupun UU Nomor 14 Tahun 2008.
“Dalam perkara (aksi massa) itu, publik berhak tahu bagaimana proses penegakan hukum berjalan, apalagi dalam kasus yang menyangkut kerugian publik seperti pembakaran fasilitas umum,” katanya.
Menurut Sholahuddin, polisi wajib menyampaikan informasi secara terbuka, khususnya jumlah tersangka, jenis pelanggaran yang dituduhkan, dan tahapan proses hukum yang sedang berjalan.
Dia menekankan, hanya ada satu informasi yang dikecualikan menurut Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Informasi yang dikecualikan itu adalah informasi yang dapat menghambat proses penyidikan atau melanggar privasi individu. Hal tersebut dapat dikecualikan dengan catatan ketat dan terbatas. “Artinya, pengecualian itu hanya untuk sementara waktu,’’ tutur Sholahuddin.
Karena itu, dia melanjutkan, Komisi Informasi mendorong kepolisian untuk membuka informasi secara bertahap, sesuai perkembangan kasus. Selain itu, polisi harus memberikan penjelasan dan alasan tidak dipublikasikannya identitas tersangka itu. ‘’Penjelasan itu harus didasarkan pada peraturan, bukan hanya alasan keamanan atau privasi tanpa dasar,’’ terangnya.
Sholahuddin mengatakan Komisi Informasi akan terus ikut memantau dan mendorong agar proses ini berjalan transparan dan akuntabel demi kepentingan publik.
Pilihan Editor:
Benarkah Main Domino Jadi Alasan Abdul Karding Dicopot