KETUA Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo mempertanyakan pasal dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang memberi ruang bagi Panglima TNI untuk ikut campur dalam ranah sipil.
Suhartoyo menyoroti kontradiksi pengaturan dalam Pasal 47 yang mengatur soal prajurit TNI menduduki jabatan di luar struktur militer. “Ini bagaimana Panglima masih cawe-cawe kalau syarat untuk menduduki jabatan tertentu harus mengundurkan diri atau tidak aktif lagi,” ujar Suhartoyo di ruang sidang di MK pada Kamis, 9 Oktober 2025. Suhartoyo menyebut Pasal 47 ayat 5 menjadi titik persoalan.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Dalam ketentuan itu disebutkan, pembinaan karier prajurit yang menduduki jabatan tertentu di kementerian atau lembaga dilakukan oleh Panglima TNI. Ia menilai ketentuan tersebut bertolak belakang dengan ayat sebelumnya yang mewajibkan prajurit mengundurkan diri atau pensiun sebelum menempati jabatan di luar TNI.
Menurut Suhartoyo, pertentangan di antara ayat-ayat Pasal 47 itu memunculkan sorotan publik terhadap supremasi sipil yang seolah-olah masih berada dalam kendali militer. Adapun sidang perkara uji materi ini, masing-masing bernomor 68/PUU-XXIII/2025, 82/PUU-XXIII/2025, dan 92/PUU-XXIII/2025.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menilai tidak ada pertentangan dalam pasal tersebut. Ia menjelaskan terdapat sejumlah jabatan khusus di luar struktur TNI yang tetap memerlukan pembinaan Panglima TNI.
“Sebetulnya Pasal 1 dan Pasal 3 itu kalau dilihat tidak bertentangan, karena ada jabatan-jabatan khusus di luar struktur yang memang memerlukan pembinaan Panglima TNI,” ujar Eddy.
Eddy mencontohkan jabatan Jaksa Agung Muda Pidana Militer di Kejaksaan. Menurutnya, meski posisi itu kerap menjadi perdebatan, secara doktrin hukum pidana militer memiliki karakteristik tersendiri. “Mohon maaf, kastanya sangat tinggi,” kata Eddy.
Pilihan Editor: