KEPOLISIAN Republik Indonesia atau Polri menjadi sorotan. Sejumlah pihak meminta agar institusi penegak hukum itu direformasi. Berbagai alasan, seperti kekerasan oleh aparat hingga kurangnya pengawasan, menjadi dasarnya.
Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui pembentukan tim reformasi kepolisian. Kepala Negara menyampaikan hal itu saat berdiskusi dengan sejumlah tokoh yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa pada Kamis, 11 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia atau PGI Gomar Gultom mengatakan dalam pertemuan itu mereka menyampaikan kepada Presiden Prabowo perlunya mengevaluasi dan mereformasi Polri.
“Pak Presiden akan segera membentuk tim atau komisi reformasi kepolisian. Saya kira ini juga atas tuntutan dari masyarakat yang cukup banyak,” kata Gultom setelah pertemuan selama tiga jam di Istana Kepresidenan, Kamis.
Selain Gerakan Nurani Bangsa, dorongan untuk mereformasi kepolisian juga datang dari berbagai pihak. Apa saja alasan mereka menuntut perubahan dalam institusi polisi?
Gerakan Nurani Bangsa, yang terdiri dari tokoh-tokoh lintas agama, menilai Presiden harus mengevaluasi dan menata ulang kepemimpinan Polri dan kebijakannya. Tujuannya agar kepolisian tidak lagi melakukan tindakan eksesif yang melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara lainnya.
“Jadi istilahnya gayung bersambut ya, apa yang dirumuskan teman-teman ini akan dilakukan oleh Bapak Presiden, terutama menyangkut masalah reformasi dalam bidang kepolisian tadi,” kata Gultom.
Sementara Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia menilai saat ini kepercayaan publik terhadap kepolisian sedang rendah. Maka dari itu, dibutuhkan perbaikan menyeluruh diperlukan untuk memperkuat akuntabilitas polisi.
Menurut BEM UI, reformasi institusi kepolisian memerlukan reformasi struktural, kultural, dan instrumental. Reformasi struktural menyasar sistem dan kelembagaan, reformasi kultural menyentuh pola kerja dan perilaku, sedangkan reformasi instrumental berkaitan dengan sarana, prasarana, serta aturan teknis.
"Evaluasi prosedur kekuatan dan keterbukaan informasi menjadi bagian penting dalam mendorong perubahan tersebut," kata BEM UI dalam tuntutan yang mereka sampaikan dalam demonstrasi di Polda Metro Jaya, 29 Agustus 2025.
Dihubungi terpisah, Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas mengatakan budaya kekerasan dan penggunaan wewenang berlebihan dalam institusi Polri perlu diubah. Komisioner Kompolnas Choirul Anam mengusulkan agar Polri memperkuat ajaran tentang instrumen hak asasi manusia dalam kurikulum pendidikan polisi.
Anam menyarankan agar kurikulum pendidikan kepolisian lebih banyak membahas HAM. “Bisa dicek di level kurikulum pendidikan misalnya, pentingnya mempertebal soal instrumen HAM, perilaku HAM, dalam pendidikan di kepolisian,” kata dia lewat pesan suara pada Sabtu, 13 September 2025.
Mantan komisioner Komnas HAM itu juga memberi usulan agar Polri memperbarui instrumen-instrumen penegakan hukum agar sesuai dengan perkembangan zaman, serta memperkuat pengawasan internal dan eksternal.
Anam juga menyoroti catatan buruk soal represifitas polisi dalam menghadapi massa. Anam mengatakan, berdasarkan catatan sejumlah lembaga sipil, masih banyak ditemukan polisi yang menggunakan cara-cara represif saat melaksanakan tugas di masyarakat.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat sebanyak sepuluh orang meninggal selama demonstrasi massa menentang berbagai kebijakan pemerintah yang tak pro rakyat pada akhir Agustus hingga September 2025. YLBHI juga mencatat sebanyak 1.042 demonstran luka-luka dan harus dirawat di rumah sakit serta polisi menangkap paling tidak 3.337 demonstran selama sepekan unjuk rasa.
Sementara itu, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menilai pengawasan terhadap institusi kepolisian perlu ditingkatkan. TAUD secara khusus menyoroti kinerja Kompolnas yang perlu dievaluasi.
Perwakilan TAUD, Arif Maulana, menilai Kompolnas tidak menjalankan fungsi pengawasan secara optimal dalam mengawal kasus kematian pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang dilindas kendaraan taktis Brimob. “Kompolnas justru tidak menjalankan fungsi pengawasan. Setiap kali, Kompolnas justru jadi juru bicara, jadi advokatnya polisi,” kata Arif dalam konferensi pers di kantor KontraS, Jakarta Pusat pada Rabu, 10 September 2025.
Hammam Izzudin, Nabiila Azzahra, Intan Setiawanty, dan Eka Yudha Saputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini