MENTERI Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengungkap adanya dugaan pemborosan di tingkat pemerintah daerah (pemda). Menurut dia, pemda kerap melipatgandakan jumlah agenda rapat dan perjalanan dinas yang semestinya bisa ditekan.
Ia meminta daerah untuk menerapkan efisiensi anggaran, terutama setelah adanya pemangkasan dana transfer ke daerah atau TKD. “Pemborosan untuk perjalanan dinas, rapat, program yang dibuat-buat mengada-ada, misalnya program penguatan ini, dan penguatan itu,” ucap Tito saat memberikan arahan dalam rapat koordinasi nasional pembinaan dan pengawasan tahun 2025, di kawasan Grogol, Jakarta Barat, Kamis, 9 Oktober 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Ia berujar, program-program itu tidak menghasilan penguatan sebagaimana yang diharapkan. “Penguatannya ibaratnya sama saja. Apa memperkuatnya?” tutur dia.
Tito menjelaskan, program penguatan itu biasanya hanya berisi rapat-rapat saja. Ia juga mencontohkan ada kasus penyelenggaraan rapat di hotel yang semestinya dihadiri oleh 50 peserta, namun yang benar-benar hadir hanya 10 orang. “Begitu dicek lagi di hotelnya, yang masuk menginap cuma 10. Yang 40 nya lagi bill-nya doang,” kata Tito.
Dana TKD dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN 2026 ditetapkan sebesar Rp 693 triliun. Angka ini menurun 24,8 persen dari outlook 2025 sebesar Rp 864,1 triliun. Mulanya, pemerintah menetapkan anggaran TKD sebesar Rp 650 triliun untuk tahun depan. DPR dan pemerintah kemudian menyepakati penambahan anggaran TKD dalam APBN 2026 sebesar Rp 43 triliun. Meski begitu, anggaran TKD tahun anggaran 2026 tetap lebih kecil dibandingkan alokasi pada APBN 2025 yang sebesar Rp 919,87 triliun.
Mantan Kepala Kepolisian RI ini menegaskan peran inspektorat daerah dalam mengawasi jalannya program-program pemerintah daerah. Inspektorat merupakan unsur pengawasan internal penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berkedudukan di bawah kepala daerah.
Inspektorat, kata Tito, bisa mengkaji apakah program pemerintah daerah logis maupun berdampak langsung bagi masyarakat. “Program ini masuk akal enggak? Ada dampak enggak? Pemborosan enggak?” ucap Tito.
“Nah, ini tidak bisa disentuh oleh penegak hukum kadang-kadang,” tutur dia lagi. Sebab, penyelenggaraan rapat-rapat itu masih berada di jalur yang sesuai regulasi. Ia mencontohkan, pemerintah daerah melaksanakan rapat penanganan stunting sebanyak 10 kali. Padahal, kata dia, kegiatan itu semestinya bisa ditekan menjadi 4 kali saja.
Dalam konteks ini, ujar dia, aparat penegak hukum tidak bisa menindak lantaran rapat yang dilipatgandakan itu merupakan bagian dari program. “Tapi bagi seorang inspektorat, ini pemborosan. Cukup 4 kali rapat, kenapa kok ditambah-tambahkan,” ujar Tito.
Dia juga menyebut alokasi dana di tingkat daerah untuk kegiatan seperti rapat, perjalanan dinas, maupun makan dan minum, terlalu berlebihan. Ia menegaskan bahwa anggaran-anggaran tersebut harus dikurangi. Kebijakan pemotongan dana TKD itu menuntut adanya efisiensi belanja, terutama belanja yang bersifat birokrasi.
“Rapat-rapat, perjalanan dinas, segala macam, makanan, minuman, perawatan, pemeliharaan, itu anggarannya kadang-kadang, mohon maaf, berlebihan. Ini harus dikurangi. Banyak daerah yang melakukan itu bisa," ujar Tito.
Ia menyebutkan Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan, sebagai contoh. Kata Tito, Lahat mampu melaksanakan efisiensi anggaran ratusan miliar. “Dia mampu untuk menyisir sampai Rp 462 miliar dari belanja birokrasi belanja operasional,” tutur dia.
PIlihan Editor: