Krisis Kesetiaan Amerika kepada Dunia

4 hours ago 3
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
 NASABendera Amerika Serikat. Foto: NASA

Presiden Prabowo Subianto memimpin Indonesia di tengah dunia yang semakin “tidak baik-baik saja”. Hubungan dunia senantiasa didominasi Amerika Serikat (AS) dan China. Hari ini relasi keduanya makin memanas, dan rencana pertemuan Donald Trump dan Xi Jinping di Seoul, terancam batal. Pemicunya, China memperketat ekspor logam tanah jarang (LTJ) ke AS.

Trump membalas dengan penetapan tarif baru 100% ke China, di atas tarif apapun yang saat ini mereka bayar, dan berlaku mulai 1 November 2025. Sangat mungkin, Amerika melakukan hal yang sama ke setiap negara yang tidak loyal dengan AS, tidak terkecuali Indonesia, di masa dekat ini.

Kebijakan tarif unilateral yang diterapkan oleh Presiden Donald Trump sejak 2017 menandai titik balik dalam sejarah kebijakan ekonomi Amerika Serikat. Dengan dalih melindungi kepentingan nasional, Trump memberlakukan tarif impor terhadap sejumlah mitra dagang utama, termasuk Tiongkok, Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko. Tindakan tersebut tidak hanya menimbulkan ketegangan perdagangan global, tetapi juga menantang legitimasi tatanan ekonomi liberal internasional yang selama ini dipelopori Amerika sendiri.

Kebijakan tarif Trump dapat disimak dari tiga dimensi: normatif, institusional, dan geopolitik, dengan menyoroti dampaknya terhadap World Trade Organization (WTO) serta masa depan multilateralisme ekonomi global. Kita akan menemukan bahwa langkah unilateral Amerika Serikat merupakan bentuk betrayal of liberal order yang mengancam keberlanjutan sistem perdagangan bebas dan membuka ruang bagi kekuatan lain, terutama Tiongkok, untuk mengisi kekosongan kepemimpinan global.

Menuju Dunia Terbuka

Pasca-Perang Dunia II, tatanan ekonomi internasional dibangun di atas fondasi liberalisme perdagangan yang dimotori oleh Amerika Serikat. Melalui General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada 1947 dan kelanjutannya dalam bentuk World Trade Organization (WTO) sejak 1995, AS berperan sebagai promotor utama prinsip perdagangan bebas, nondiskriminatif, dan berbasis aturan (rule-based order).

Namun, ketika Donald Trump menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat pada 2017, arah kebijakan ekonomi luar negeri negara tersebut berubah drastis. Slogan “America First” menjadi pembenaran bagi serangkaian kebijakan proteksionis, termasuk pemberlakuan tarif impor sepihak atas dasar keamanan nasional (Section 232 of the Trade Expansion Act of 1962) dan tuduhan praktik dagang tidak adil terhadap mitra-mitra dagang utama (Bown & Irwin, The Trump trade war: A blow to global liberalization, 2019).

Kebijakan tersebut menandai pergeseran dari multilateralisme ke unilateralisme, dan dari liberalisme global ke nasionalisme ekonomi. Dalam konteks inilah, kebijakan tarif Trump perlu dibaca bukan sekadar sebagai kebijakan ekonomi, tetapi sebagai fenomena politik internasional yang mencerminkan krisis kesetiaan hegemon terhadap sistem yang ia ciptakan sendiri.

Runtuhnya Teori Globalisasi

 ShutterstockIlustrasi Wall Street. Foto: Shutterstock

Dalam teori hubungan internasional, liberalisme ekonomi berasumsi bahwa keterbukaan perdagangan antarnegara menciptakan kemakmuran bersama dan mengurangi potensi konflik (Keohane, After hegemony: Cooperation and discord in the world political economy, 2020). Sistem ini bertumpu pada prinsip comparative advantage yang diperkenalkan David Ricardo pada tahun 1817, serta kepercayaan terhadap institusi global seperti WTO untuk menjaga keadilan dan stabilitas pasar internasional.

Menurut Ikenberry dalam Liberal Leviathan (2011), tatanan liberal pasca-1945 bukan hanya sistem ekonomi, tetapi juga proyek politik Amerika untuk membangun dunia yang terintegrasi melalui perdagangan bebas, investasi lintas batas, dan tata aturan yang mengikat semua negara, termasuk dirinya sendiri.

Dani Rodrik dalam The Globalization Paradox (2011) menjelaskan adanya globalization trilemma—bahwa demokrasi, kedaulatan nasional, dan globalisasi ekonomi tidak dapat dicapai secara bersamaan. Ketika liberalisasi ekonomi global semakin dalam, tekanan terhadap legitimasi domestik meningkat, terutama di negara demokrasi maju. Fenomena ini menjadi latar belakang munculnya populisme ekonomi di Amerika, yang kemudian diekspresikan oleh Trump dalam bentuk kebijakan proteksionis.

Keohane menegaskan bahwa sistem ekonomi internasional yang stabil memerlukan hegemon yang tidak hanya kuat secara ekonomi, tetapi juga bersedia menanggung biaya kolektif untuk menjaga keteraturan sistem. Namun, ketika hegemon menolak peran tersebut, sistem global akan mengalami ketidakstabilan. Kasus Amerika di bawah Trump menunjukkan fenomena keengganan hegemon (hegemonic withdrawal) dari tanggung jawab global.

Pengkhianatan terhadap Perdagangan Bebas

Kebijakan tarif Trump terhadap baja dan aluminium (2018), serta terhadap produk-produk Tiongkok senilai lebih dari USD 360 miliar (2019), dilakukan secara sepihak tanpa konsultasi multilateral. Argumen “keamanan nasional” digunakan secara longgar untuk membenarkan proteksi ekonomi domestik.

Langkah tersebut secara substantif bertentangan dengan most-favored nation principle dan national treatment dalam perjanjian WTO. Di sini tampak adanya paradoks moral: negara yang membangun rezim perdagangan bebas justru menjadi pelanggarnya. Menurut Stiglitz (2018), hal ini merupakan bentuk “economic hypocrisy” yang merusak kredibilitas kepemimpinan global Amerika Serikat.

Selain kebijakan tarif, Trump juga melumpuhkan Appellate Body WTO dengan memblokir pengangkatan hakim baru sejak Desember 2019. Akibatnya, sistem penyelesaian sengketa yang menjadi tulang punggung WTO tidak lagi berfungsi.

Tindakan ini tidak hanya menghambat penyelesaian sengketa perdagangan, tetapi juga mengguncang legitimasi hukum internasional ekonomi. Banyak negara kehilangan kepercayaan terhadap efektivitas WTO dan beralih ke mekanisme bilateral atau regional seperti Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-

Pergeseran Kepemimpinan Global

Kebijakan proteksionis Amerika menciptakan kekosongan kepemimpinan global dalam urusan perdagangan. Dalam kekosongan itu, Tiongkok tampil sebagai alternatif dengan mempromosikan inisiatif Belt and Road dan menjadi motor penggerak Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) adalah perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan sepuluh negara anggota ASEAN, yaitu Indonesia, Kamboja, Brunei Darussalam, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, serta lima negara mitra.

Trump justru mempercepat pergeseran hegemoni ekonomi global dari Barat ke Timur. Dunia menyaksikan paradoks baru: negara komunis seperti Tiongkok tampil sebagai pembela globalisasi, sementara Amerika Serikat justru menjadi simbol proteksionisme baru.

Bagi negara berkembang, kebijakan tarif sepihak Amerika Serikat mengandung dua risiko besar: pertama, melemahnya posisi tawar global, karena mekanisme hukum WTO tidak lagi efektif; kedua, ketergantungan baru terhadap kekuatan ekonomi lain seperti Tiongkok. Dengan kata lain, dunia berkembang kembali menjadi “object of power competition” alih-alih menjadi subjek dalam tata perdagangan global.

Fenomena ini menunjukkan bahwa liberalisme ekonomi global tidak lagi bersifat universal, melainkan tergantung pada kalkulasi politik domestik negara hegemon.

Pelajaran

 Evelyn Hockstein/REUTERSPresiden AS Donald Trump. Foto: Evelyn Hockstein/REUTERS

Kebijakan tarif Trump merepresentasikan krisis kesetiaan Amerika Serikat terhadap tatanan perdagangan dunia yang selama tujuh dekade menjadi simbol kepemimpinannya. Dalam tiga dimensi yang telah dibahas—normatif, institusional, dan geopolitik—tindakan Amerika terbukti menggerus legitimasi liberalisme global, melemahkan WTO, dan mempercepat pergeseran kekuasaan ekonomi dunia.

Pelalajarannya, pertama, Amerika menjadikan dirinya menjadi The Global Leviathan, sebagai hegemon global. Nampaknya, Amerika membuktikan kebenaran teori Darwinisme-sosial, survival for the fittest, bahwa globalisasi ternyata memenangkan mereka yang siap. Dan, ternyata Amerika tidak siap. Satu-satunya cara adalah “membungkam” teori tersebut dengan menjadikannya siap, dan kesiapan dalam kerangka ketidaksiapan hanya satu: menjadi hegemon baru dengan cara-cara hegemoni baru yaitu melanggar semua kesepakatan yang pernah dibuat dan dipromosikannya sendiri. Di sini kita perlu memahami, bahwa Trump bukanlah seorang politisi, ia lebih sebagai seorang pengusaha, bahkan pedagang. Prisipnya seorang pedagang, baik yang baik atau sebaliknya, adalah mendapatkan untung sebanyak-banyaknya sesegera mungkin, kalau perlu sekarang, apa pun caranya.

Pelajaran ke dua, ternyata, tatkala hegemon bertindak unilateral, sistem global justru kehilangan jangkar moral dan institusionalnya. Masa depan tatanan perdagangan dunia menuntut redesain multilateralisme baru yang tidak bergantung pada satu kekuatan besar, melainkan berbasis pada kesetaraan, keadilan, dan kepatuhan terhadap aturan bersama. Dan itulah ketidakpastian baru dan sangat mendera bagi pemimpian (baca: Presiden) Indonesia, saat ini dan ke depan.

Pelajaran ke tiga, Indonesia dapat meniru Amerika, pada kondisi tertentu tidak apa jika harus “keluar” dari kesepakatan-kesepakatan bilateral dan multilateral yang benar-benar merugikan kepentingan negara, bangsa, dan rakyat I...

Read Entire Article