REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA - Penunjukan Anggito Abimanyu sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menggantikan Purbaya Yudhi Sadewa, menjadi momentum penting dalam upaya memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem keuangan Indonesia.
Ketua Inklusi Pemuda Indonesia dan Pembina Media Ruang Suara, Raenald Arzan Sitompul menjadi salah satu yang menyoroti pergantian kepimpinan ini.
Ia meyakini kepemimpinan Anggito akan membawa harapan baru di tengah transformasi ekonomi digital dan bonus demografi Indonesia. Apalagi menurutnya, visi Anggito untuk LPS ini tergambar dalam AKSARA yakni Aman, Kuat, Sejahtera, dan Ramah yang menunjukkan LPS harus hadir bukan hanya sebagai pelindung simpanan, tetapi juga sebagai agen edukasi yang dekat dengan generasi muda.
"Anak muda hari ini bukan hanya pengguna layanan keuangan, tapi juga pembentuk budaya finansial baru yang lebih terbuka dan digital," ujar Raenald dalam keterangannya, Sabtu (11/10/2025).
"Tanpa literasi yang merata, potensi ekonomi digital sulit berkembang dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan bisa melemah," katanya menambahkan.
Raenald menyoroti pentingnya menurunkan kesenjangan literasi dan inklusi keuangan, khususnya di daerah tertinggal. Data terbaru dari OJK dan BPS menunjukkan indeks inklusi keuangan Indonesia mencapai 80,5 persen, namun literasi keuangan baru sebesar 66,4 persen. Kesenjangan ini menjadi perhatian serius karena tanpa literasi yang memadai, akses ke layanan keuangan dapat menjadi jebakan risiko finansial, terutama bagi masyarakat di daerah tertinggal dan pedesaan.
Oleh karenanya, di bawah kepemimpinan Anggito, LPS diharapkan mampu memperluas edukasi finansial melalui kolaborasi dengan sekolah, komunitas kreatif, dan ekosistem digital, serta memperkuat akses layanan keuangan di daerah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar).
"Banyak masyarakat di pedesaan yang masih bergantung pada sistem keuangan informal, seperti arisan atau pinjaman antarwarga, yang sering kali tidak memiliki perlindungan hukum maupun jaminan keamanan. Di sisi lain, masyarakat perkotaan sudah lebih aktif berinteraksi dengan layanan digital banking, e-wallet, dan investasi daring. Kesenjangan ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan inklusi keuangan belum sepenuhnya inklusif secara substansial, akses memang terbuka, tetapi pemahaman masih tertutup. Tanpa pemerataan literasi, potensi ekonomi digital di pedesaan akan sulit berkembang, dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan formal bisa melemah," ungkapnya.
Lebih lanjut, Raenald mendorong agar LPS berani mengubah pendekatannya, dari lembaga yang hanya melindungi menjadi lembaga yang turut serta memberdayakan.
Setidaknya ada tiga langkah yang disampaikan dan bisa menjadi kunci antara lain memperluas edukasi keuangan ke sekolah, kampus, dan komunitas kreatif agar generasi muda memahami konsep keuangan secara menyeluruh, dari menabung hingga investasi dan pengelolaan hutang.
Kedua, memanfaatkan ekosistem digital dengan kampanye edukasi yang relevan dan mudah dipahami, misalnya melalui media sosial dan influencer, untuk menjangkau audiens lebih luas dan beragam. Dan yang ketiga, memperkuat kolaborasi dengan stakeholder daerah, khususnya di wilayah 3T (terdepan, tertinggal, dan terluar), guna meningkatkan akses layanan keuangan sekaligus program literasi yang sesuai dengan kebutuhan lokal.
"Dengan tiga langkah ini, literasi dan inklusi finansial dapat tumbuh beriringan, menciptakan ekosistem keuangan yang lebih tangguh, transparan, dan berdaya bagi seluruh lapisan masyarakat. Jika LPS mampu mengubah kehadirannya dari lembaga yang 'melindungi di belakang layar' menjadi lembaga yang 'berdialog di depan publik, maka kepercayaan itu akan tumbuh bukan karena kewajiban, melainkan karena kedekatan," ujarnya.Anggito Abimanyu Pimpin LPS, Buka Harapan Baru Bagi Kepercayaan Finansial Publik