
KPK mengungkapkan bahwa aturan terkait penyelidikan dalam RUU KUHAP berpeluang menghambat Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang selama ini dilakukan.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Bagian Perancangan Peraturan Biro Hukum KPK, Imam Akbar Wahyu Nuryamto, dalam acara diskusi bertajuk 'Menakar Dampak RUU Hukum Acara Pidana bagi Pemberantasan Korupsi', di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (22/7).
Dalam diskusi itu, Imam mengatakan bahwa penyelidikan yang selama ini dilakukan KPK adalah untuk memperoleh alat bukti permulaan dalam tindak pidana korupsi.
Namun, dalam ketentuan di RKUHAP, definisi penyelidikan hanya untuk mencari dan menemukan peristiwa tindak pidana.
Padahal, di dalam ketentuan UU KPK, penyelidikan KPK telah menemukan bukti permulaan sekurang-kurangnya dua alat bukti. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) UU KPK.
Jika aturan di RUU KUHAP berbeda dengan UU KPK, lanjut Imam, maka peluang pelaksanaan OTT KPK akan makin kecil.
"Kalau dari tahap penyelidikan atau memperoleh bukti permulaan itu berubah, tidak seperti yang sekarang, maka kemungkinan untuk menjadi tangkap tangan [OTT] itu semakin kecil," kata Imam di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (22/7).
Menurut Imam, pembatasan kewenangan dalam penyelidikan yang diatur di RUU KUHAP justru akan menjadi kesulitan tersendiri bagi KPK dalam memperoleh alat bukti permulaan.
"Jadi, sekali lagi, peluang tangkap tangan itu dengan adanya hukum acara yang baru, ini akan memperkecil kalau tidak sinkron dengan hukum acara sebagaimana yang berlaku saat ini. Sekurang-kurangnya itu potensi permasalahannya," ucap dia.
Lebih lanjut, Imam pun menyinggung bahwa tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa atau extraordinary crime yang pelakunya juga bukan warga negara biasa.
"Sekali lagi yang namanya korupsi itu pelakunya bukan warga negara biasa, dia adalah white collar crime yang punya kemampuan lebih di bidang kemampuan di bidang intelligence, bukan tindak pidana biasa," tutur dia.
"Bukan seperti yang maling ayam atau apa, tetapi dia mempunyai akses kekuasaan, akses anggaran, dan seterusnya," pungkasnya.
Sebelumnya, KPK mengungkapkan ada 17 poin di dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang dinilai bermasalah dan tak sinkron dengan kewenangan KPK di UU KPK.
Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menyebut bahwa poin aturan yang dipermasalahkan itu ditemukan usai pihaknya melakukan diskusi dan kajian di internal lembaga.
Sejumlah poin permasalahan itu di antaranya terkait dengan aturan penyadapan, pembatasan dalam penyelidikan, reduksi kewenangan penyelidik, hingga aturan cegah ke luar negeri hanya untuk tersangka.