ANGGOTA Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Abdullah menilai rencana Tentara Nasional Indonesia (TNI) melaporkan Ferry Irwandi ke polisi berbahaya bagi kebebasan demokrasi. Menurut dia, upaya Satuan Siber TNI mencari dugaan tindak pidana pemengaruh media sosial itu berpotensi mempersempit ruang demokrasi.
"Rencana pelaporan itu justru membuat masyarakat sipil jadi takut dalam menyampaikan pendapat," kata dia dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 12 September 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Apalagi, ujar dia, masyarakat berhak menyampaikan pendapat yang dilindungi oleh undang-undang. Karena itu, ia menilai rencana TNI melaporkan Ferry Irwandi tidak perlu dilanjutkan."Rencana pelaporan tersebut tidak sesuai dengan UUD 1945, Undang-Undang TNI, dan putusan Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Dia menjelaskan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 105/PU-XXII/2024 pada intinya menyatakan instansi pemerintah tidak dapat melaporkan orang dalam kasus pencemaran nama baik. "TNI tak punya legal standing," tutur Abdullah.
Dia mengimbau semua pihak untuk menjaga TNI agar selalu bersikap profesional. Dia meminta agar supremasi sipil dan hak asasi manusia itu benar-benar dihormati.
Sebelumnya, Komandan Satuan (Dansat) Siber Markas Besar TNI Brigadir Jenderal Juinta Omboh Sembiring mendatangi markas Polda Metro Jaya untuk mendiskusikan dugaan tindak pidana pencemaran nama institusi TNI oleh Ferry Irwandi. Dugaan pidana Ferry Irwandi ditemukan oleh Satuan Siber TNI setelah melakukan penyisiran ruang siber.
Wakil Direktur Reserse Siber Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Fian Yunus mengatakan TNI tak bisa memidana Ferry atas tuduhan pencemaran nama baik. Ketentuan itu sesuai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XXII/2024, yang menyatakan tindak pidana pencemaran nama hanya dapat dilaporkan oleh seseorang secara pribadi.
Langkah TNI untuk mencari tindak pidana Ferry mendapat kecaman dari masyarakat sipil. Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie, mengatakan patroli siber terhadap aktivitas sipil menciptakan preseden berbahaya bagi normalisasi militer dalam penegakan hukum siber.
Daniel Ahmad Fajri dan Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.