DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). DPR melalui Ketua Komisi I DPR Utut Adianto menjelaskan, seluruh pasal yang digugat sudah memiliki dasar hukum dan pembatasan yang jelas.
Dia mencontohkan penambahan dua bentuk operasi militer selain perang (OMSP) dalam revisi Undang-Undang TNI, yakni penanggulangan ancaman pertahanan siber serta perlindungan dan penyelamatan warga negara di luar negeri. “Perubahan ini justru menyesuaikan dengan dinamika ancaman modern, bukan memperluas kewenangan TNI secara berlebihan,” ujarnya dalam sidang di MK pada Kamis, 9 Oktober 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Permohonan uji materi terhadap Undang-Undang TNI ke MK diajukan sejumlah advokat, konsultan hukum, dan mahasiswa dalam tiga perkara yang digabungkan. Sidang menggabungkan tiga perkara uji materi, masing-masing bernomor 68/PUU-XXIII/2025, 82/PUU-XXIII/2025, dan 92/PUU-XXIII/2025.
Perihal pasal bantuan TNI kepada pemerintah daerah, DPR menilai ketentuan tersebut sudah ada sejak Undang-Undang 34 Tahun 2004 dan tidak pernah menimbulkan persoalan. Frasa “mengatasi masalah akibat pemogokan” dalam penjelasan pasal dinilai tidak membatasi hak konstitusional warga, melainkan menegaskan peran TNI yang terbatas dan proporsional atas permintaan pemerintah daerah.
Soal peran TNI di ruang siber, DPR mengklaim bahwa keterlibatan militer bersifat defensif dan strategis, bukan penegakan hukum. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 7 ayat 2 huruf B angka 15 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 serta Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 82 Tahun 2014 tentang Pertahanan Siber.
Perihal Pasal 47 Undang-Undang TNI, DPR berpendapat ketentuan tersebut telah membatasi secara ketat penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil hanya pada 14 instansi pusat yang memiliki karakteristik tugas tertentu. Pengaturan ini, kata Utut, sejalan dengan Pasal 19 Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan praktik negara demokrasi, seperti Amerika Serikat, India, Prancis, dan Singapura. “Dengan pembatasan itu, partisipasi militer dalam jabatan sipil tetap terkendali,” ujar dia.
Pada bagian petitumnya, DPR meminta MK untuk menolak seluruh permohonan uji materi yang diajukan para pemohon. DPR menilai permohonan uji materi tersebut tidak beralasan menurut hukum. DPR menilai, ketentuan dalam UU TNI tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. "Menolak permohonan a quo untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan a quo tidak dapat diterima," kata Utut.
Adapun pemerintah melalui Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyampaikan hal serupa. Eddy mengatakan dalil pemohon 92/PUU-XXIII/2025 merupakan dalil yang sama sekali tidak memiliki relevansi dan tidak memiliki hubungan sebab akibat tentang berlakunya ketentuan Pasal 53 ayat 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025.
"Ketentuan dalam undang-undang itu hanya mengatur perpanjangan usia pensiun untuk perwira tinggi bintang 4 oleh Presiden, bukan mengatur tindakan represif yang dapat dilakukan prajurit TNI," kata dia.
Atas bantahan dalil itu, pemerintah juga meminta MK menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum sehingga permohonan patut tidak diterima. "Sehingga permohonan pemohon tidak dapat diterima, niet ontvankelijke verklaard," tutur dia.
Adapun perkara Nomor 68/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh sekelompok advokat, konsultan hukum, dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang. Mereka menggugat Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU TNI yang mengatur penempatan prajurit aktif di jabatan sipil strategis. Pemohon menilai pasal tersebut membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan dan bertentangan dengan prinsip supremasi sipil serta akuntabilitas.
Perkara Nomor 92/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh Tri Prasetio Mumpuni, mahasiswa Universitas Singaperbangsa Karawang. Ia mempersoalkan Pasal 53 ayat (4) yang memperpanjang masa pensiun perwira tinggi bintang empat hingga usia 63 tahun, dengan kemungkinan dua kali perpanjangan melalui Keputusan Presiden. Ketentuan ini dinilai memberi peluang penyalahgunaan wewenang oleh eksekutif. Sedangkan perkara 82/PUU-XXIII/2025 juga diuji dalam sidang, sementara perkara 81 yang sebelumnya diajukan sejumlah mahasiswa telah dicabut para pemohonnya.
Pilihan Editor: