Liputan6.com, Jakarta "Kamu sebenarnya siapa?"
"Nobody (bukan siapa-siapa)," jawab Hutch Mansell
Setelah muncul di film perdana tahun 2021, interaksi "keramat" ini kembali dalam Nobody 2. Masih dengan sang protagonis yang sama, Hutch Mansell (Bob Odenkirk), yang kini telah menerima "fitrahnya" sebagai seorang pembunuh. Namun kini ia tak hanya bekerja full time sebagai tentara bayaran karena keinginan saja, tapi juga usaha untuk bayar utang setelah membakar tumpukan duit milik mafia Rusia.
Di sisi lain, kesibukannya ini bikin sang istri Becca (Connie Nielsen) prihatin. Masalahnya, waktu Hutch untuk keluarga dan anak-anaknya bisa dibilang nihil. Ia bahkan tak tahu perkembangan terakhir dari hidup putra sulungnya, Brady (Gage Munroe).
Hutch langsung menggoreng rencana. Mumpung sedang liburan musim panas, ia ingin mengajak keluarganya berlibur ke Plummerville. Alasannya, kota kecil dengan taman bermain ini telah memberikannya memori indah semasa bocah bersama ayah (Christopher Lloyd) dan saudaranya, Harry (RZA).
"Memangnya kamu bisa berlibur?" tanya The Barber (Colin Salmon), sang "penyalur jasa" untuk Hutch.
Kabar terbaru datang dari sutradara Timo Tjahjanto yang sedang bernegosiasi untuk menjadi sutradara Train To Busan versi Hollywood. Train to Busan adalah film populer bergenre thriller yang berasal dari Korea Selatan.
Berhadapan dengan Penguasa Plummerville
Benar saja, masa liburan keluarga Mansell berakhir prematur. Semua berawal dari gesekan sepele antara anaknya dengan seorang ABG lokal di sebuah arcade. Namun satu tindakan dari pemilik arcade, seakan memantik ledakan di kepala Hutch.
Tanpa ba-bi-bu, tanpa sanggup dicegah oleh Becca, Hutch mengamuk.
Sialnya, remaja yang diajak kelahi Brady ternyata anak penggede di kota kecil itu, Wyatt Martin (John Ortiz). Ia adalah pemasok barang berbahaya untuk mafia kejam penguasa Plummerville, Lendina (Sharon Stone).
Mengetahui hal ini, Hutch berniat mendinginkan suasana dan meninggalkan Plummerville dengan tenang bersama keluarganya. Tapi, bisakah ia melakukannya?
Transformasi Hutch Mansell
Hutch Mansell, adalah roh dari waralaba Nobody. Dalam film keduanya ini, ia menunjukkan transformasi tapi sekaligus inti yang sama dari karakter dalam film perdana. Ia masih pakai "casing" bapak-bapak biasa: paruh baya berpenampilan old school yang punya tugas domestik buang sampah.
Namun sebagai pembunuh, kemampuan bertarungnya tampak jauh lebih mematikan. Tak cuma menghajar lima orang sekaligus dalam bus, kini ia jago menghadapi lawan lebih berbahaya dalam ruang jauh lebih sempit.
Transformasi Hutch ini dilipatgandakan dengan sinematografi saat menampilkan adegan pertarungan yang lebih raw dan kasar. Kamera tak cuma ikut berguncang, tapi juga berakrobat, sampai ikut tumbang ke tanah--seakan mengajak penonton untuk makin terisap masuk dalam pergulatan di atas layar.
Pertarungan pun dibuat makin brutal, dan penuh dengan adu jotos jarak dekat dengan beragam senjata--mulai parang hingga senapan api. Segala barang yang ada di jangkauan pun bisa dimanfaatkan jadi alat mematikan, mulai dari pipa hingga gerinda--mengingatkan pada gaya tarung ala Jackie Chan.
Kemampuan Bob Odenkirk--yang kini berusia 61 tahun--dalam mengeksekusi aneka aksi ini pun layak dapat acungan jempol.
Nuansa Musim Panas ala Timo Tjahjanto
Nobody 2 betul-betul jadi antitesis film-film jagoan Hollywood, tak cuma lewat karakter bapak-bapak sebagai protagonis. Film ini juga memghadirkan atmosfer cerah, hangat dan penuh warna ke atas layar, alih-alih menggelar visual yang dingin dan muram yang jadi formula khas genre ini.
Makin cocok dengan nuansa musim panas, medan pertempuran pun digelar di taman bermain. Aneka wahana khas mainan bocah pun disulap jadi senjata mematikan maupun jebakan untuk lawan.
Gaya Hutch dan kawanannya menebar jebakan, langsung mengingatkan pada aksi Kevin McCallister di Home Alone--tapi berkali lipat lebih brutal. Dalam premiere film ini di Jakarta, Timo Tjahjanto yang duduk di bangku sutradara pun mengakui memang Home Alone jadi salah satu inspirasi perang dalam Nobody 2.
Masuknya Timo Tjahjanto sebagai sutradara, jelas punya dampak besar. Ia meninggalkan sidik jarinya sepanjang durasi 1,5 jam. Tak cuma dalam hal porsi adegan brutal yang makin banyak, tapi juga bagaimana hal tersebut digambarkan. Kadang dengan cara kematian nyeleneh, tak jarang juga dengan menyisipkan humor penuh darah ke dalamnya.
Di sisi lain, "kesaktian" Hutch menghajar para anggota mafia menghadirkan sesi kepuasan sendiri--meski plotnya terbilang standar. Karena, mungkin, diam-diam kita semua butuh katarsis untuk menyalurkan hasrat menggebuk para penjahat tapi tak punya kemampuan melakukannya.