
ANCAMAN deepfake kini menjadi perhatian besar di dunia keamanan siber. Teknologi yang memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memalsukan suara dan wajah ini kian canggih, murah, dan mudah diakses, sehingga perusahaan dituntut memperkuat pertahanan digital mereka.
Menurut Regional Vice President Asia dari Ping Identity Jasie Fon, deepfake tidak bisa dihapuskan begitu saja.
“Deepfake tidak akan pernah hilang. Tetapi perusahaan bisa lebih pintar menghadapi ancaman ini dengan mengadopsi teknologi seperti liveness detection, analisis perilaku pengguna, serta autentikasi berbasis identitas yang lebih aman,” ujar Fon dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Ping Identity, penyedia solusi keamanan identitas global yang telah mengamankan lebih dari 8 miliar identitas di seluruh dunia dan dipercaya 276 perusahaan Fortune 500, menekankan bahwa identitas adalah pintu masuk utama dalam setiap transaksi digital. Baik saat membuka akun baru, memperbarui data, atau melakukan transaksi keuangan, identitas selalu menjadi sasaran utama penjahat siber.
Fon menegaskan bahwa dalam dunia digital, identitas bukan hanya soal manusia seperti pelanggan, karyawan, atau mitra bisnis, tetapi juga identitas non-manusia, seperti bot dan AI agents.
“Sekarang sudah ada tren agentic AI, ketika agen AI bisa melakukan transaksi sendiri. Misalnya, membeli asuransi atau tiket perjalanan atas nama pengguna. Namun, hal ini juga membuka peluang baru bagi bot jahat untuk menyamar dan mencuri data,” ungkap Fon
Fon menambahkan, perusahaan sering kali menghadapi dilema antara memperketat keamanan dengan menjaga pengalaman pelanggan. Proteksi berlebihan bisa menimbulkan friksi, membuat pelanggan merasa dipersulit.
“Ada bot baik yang bisa membantu, tapi ada juga bot jahat yang mengambil kredensial. Sistem harus bisa membedakan keduanya. Manajemen identitas modern bisa menjembatani hal ini, yaitu menjaga keamanan tanpa mengorbankan kenyamanan pengguna,” kata Fon.
Untuk itu, Ping Identity mendorong perusahaan meninggalkan sistem kata sandi tradisional yang rentan diretas dan beralih ke autentikasi multifaktor serta identitas terdesentralisasi.
Dalam model ini, kredensial tidak lagi tersimpan di satu basis data terpusat yang menjadi incaran peretas, melainkan berada di digital wallet pribadi milik pengguna.
“Kalau data Anda tersimpan di bank dan bank itu diretas, semua informasi bisa hilang. Tapi kalau identitas berada di wallet pribadi yang terenkripsi, peretas tidak bisa mengakses jutaan akun sekaligus.”
Fon memperkirakan dalam lima tahun ke depan, ancaman deepfake akan semakin kompleks seiring perkembangan AI generatif.
“Hari ini masalahnya deepfake, besok bisa jadi bentuk penipuan lain. Fraudster akan selalu mencari celah baru. Perusahaan harus selalu selangkah lebih maju,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa manajemen identitas bukan hanya soal kepatuhan terhadap regulasi keamanan, tetapi fondasi strategis dalam menjaga kelangsungan bisnis.
“Dewan direksi seharusnya tidak memandang manajemen identitas sekadar kotak centang keamanan. Ini adalah infrastruktur inti digital yang melindungi reputasi, aset, dan pelanggan,” tutup Fon. (Z-1)