
Oktober 2023 menjadi titik balik dalam sejarah panjang konflik Palestina-Israel. Perang di Gaza menelan korban sipil dalam jumlah mengejutkan menurut laporan United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), lebih dari 35 ribu orang tewas, ratusan ribu terluka, dan jutaan mengungsi sepanjang 2023–2024. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata penderitaan kemanusiaan yang mengguncang dunia.
Gelombang protes besar pun muncul. Dari Jakarta, London, Paris hingga New York, jutaan orang turun ke jalan menyerukan keadilan bagi Palestina. Media sosial memperkuat dampak emosional, menjadikan Gaza simbol global tentang ketidakadilan. Namun, resonansi paling menentukan terjadi di ruang diplomasi. Tragedi ini memicu lahirnya gelombang pengakuan internasional terhadap Palestina, salah satu dinamika paling signifikan dalam politik global kontemporer.
Mengapa Pengakuan Penting?
Dalam hukum internasional, status negara sering merujuk pada Konvensi Montevideo 1933 yang mensyaratkan wilayah, penduduk, pemerintahan, dan kapasitas menjalin hubungan internasional. Palestina dalam banyak hal memenuhi kriteria tersebut.
Namun, sebagaimana dijelaskan James Crawford dalam The Creation of States in International Law (2006), pengakuan bukanlah syarat berdirinya negara, melainkan konfirmasi politik yang memperkuat posisi suatu entitas. Dengan kata lain, pengakuan merupakan “stempel” yang membuka pintu bagi sebuah bangsa untuk diakui eksistensinya dalam masyarakat internasional.
Bagi Palestina, pengakuan ini lebih dari simbol. Ia adalah bentuk perlawanan diplomatik terhadap status quo, sekaligus pernyataan bahwa hak menentukan nasib sendiri (self-determination) sebagaimana dijamin Piagam PBB bukanlah sekedar retorika.
Lonjakan Dukungan: Dari Global South ke Barat

Hingga awal 2023, Palestina telah diakui oleh lebih dari 140 negara anggota PBB mayoritas dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Dukungan ini lahir dari solidaritas anti-kolonial.
Namun, yang membedakan periode 2023–2025 adalah pergeseran geopolitik di Eropa Barat. Pada Mei 2024, Norwegia, Irlandia, dan Spanyol mengakui Palestina, disusul Slovenia. Untuk pertama kalinya, negara-negara di jantung Uni Eropa mengambil langkah yang selama puluhan tahun dihindari.
Data Pew Research Center (2024) menunjukkan, lebih dari 70% masyarakat Eropa Barat mendukung pengakuan Palestina. Bahkan di Amerika Serikat, dukungan publik terutama generasi muda naik signifikan. Tekanan opini publik ini memaksa banyak pemerintah Barat meninjau ulang kebijakan luar negerinya.
Hasilnya, pada 2025 lebih dari 150 negara secara resmi mengakui Palestina, menjadikannya salah satu isu dengan dukungan internasional paling luas di era multipolar.
Legitimasi vs Realpolitik: Paradoks Politik Internasional
Meski dukungan mayoritas menguat, jalan menuju keanggotaan penuh Palestina di PBB tetap terbentur. Pada April 2024, Amerika Serikat kembali menggunakan hak veto di Dewan Keamanan untuk menggagalkan resolusi pengakuan (UNSC Records, 2024).
Paradoks ini menggambarkan wajah politik internasional, legitimasi moral dan dukungan mayoritas kerap tak berdaya di hadapan kalkulasi kekuasaan. Seperti diingatkan John Mearsheimer dalam The Tragedy of Great Power Politics (2001), dunia jarang diatur oleh keadilan, melainkan oleh kepentingan kekuatan besar.
Gelombang pengakuan Palestina 2023–2025 bisa dibaca melalui teori siklus hidup norma (Finnemore & Sikkink, 1998):
Kemunculan norma : gagasan hak menentukan nasib sendiri diperjuangkan aktivis, akademisi, hingga negara pelopor.
Cascade : negara-negara lain mulai mengadopsi norma itu karena tekanan opini publik, reputasi, atau politik domestik.
Internalisasi : norma akhirnya menjadi standar global.
Pengakuan Palestina kini memasuki tahap cascade. Dukungan meluas bukan sekadar soal kalkulasi geopolitik, tapi juga dorongan moral yang sulit diabaikan.
Pusaran Geopolitik

Isu pengakuan Palestina tidak hanya berdimensi moral, tetapi juga mencerminkan tarik-menarik kepentingan geopolitik. Dalam dunia multipolar, kekuatan besar menggunakan isu ini sebagai instrumen strategi global. Rusia dan Tiongkok, misalnya, secara konsisten mendukung Palestina karena langkah itu sejalan dengan upaya mereka menantang dominasi Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah. Seperti dijelaskan Mearsheimer (2001) dalam logika realisme ofensif, kekuatan besar selalu berupaya melemahkan rival utamanya, dan dalam konteks ini, Palestina menjadi alat diplomasi yang efektif.
Di sisi lain, bagi negara-negara Global South, pengakuan terhadap Palestina tidak sekadar kalkulasi politik, melainkan bagian dari memori kolektif perjuangan anti-kolonial. Solidaritas ini sejalan dengan gagasan Acharya (2014) tentang norm localization, di mana norma global seperti self-determination diterjemahkan sesuai dengan pengalaman lokal sejarah penindasan kolonial. Palestina menjadi simbol yang mempersatukan Global South dalam menegaskan identitas dan solidaritas kolektif mereka di panggung internasional.
Sementara itu, Uni Eropa berada dalam dilema. Beberapa negara seperti Spanyol, Irlandia, Norwegia, Swedia mengambil posisi progresif dengan menekankan legitimasi moral dan kemanusiaan, tetapi negara-negara besar seperti Jerman, Inggris lebih berhati-hati karena mempertimbangkan stabilitas hubungan dengan Israel dan Amerika Serikat. Perpecahan ini menggambarkan apa yang disebut Karen Smith (2020) sebagai dilema ganda, yakni Uni Eropa mencoba menjaga reputasi normatif sebagai promotor hak asasi manusia, tetapi sekaligus mempertahankan pragmatisme geopolitik. Dengan demikian, pusaran geopolitik Palestina pada dasarnya merupakan arena di mana norma internasional berhadapan langsung dengan kalkulasi kepentingan strategis negara.
Implikasi Diplomasi
Gelombang pengakuan internasional terhadap Palestina membawa dampak ganda dalam diplomasi. Di satu sisi, pengakuan memperkuat legitimasi hukum internasional Palestina. Dengan status negara yang semakin sahih, Palestina memperoleh ruang lebih luas untuk bergabung dalam organisasi internasional, sekaligus membuka peluang memperkarakan pelanggaran Israel di hadapan International Criminal Court (ICC). Akande (2019) mencatat bahwa pengakuan semacam ini memberikan dasar hukum yang lebih kokoh bagi Palestina untuk menuntut Israel terkait pemukiman ilegal dan dugaan kejahatan perang. Dari perspektif hukum, semakin banyak negara yang mengakui, semakin kuat pula klaim Palestina sebagai subjek hukum penuh.
Namun, di sisi lain, pengakuan diplomatik ini tidak serta merta mengubah realitas politik di lapangan. Israel tetap menguasai wilayah, perbatasan, dan infrastruktur vital Palestina, sehingga kedaulatan de facto tetap berada di luar jangkauan. Situasi ini mengingatkan pada tesis Krasner (1999) tentang organized hypocrisy bahwa meski norma kedaulatan dan pengakuan formal ditegakkan, praktik di lapangan sering kali bertolak belakang dengan prinsip tersebut. Dengan kata lain, ada jurang antara legitimasi normatif yang diberikan oleh hukum internasional dan kenyataan politik yang ditentukan oleh kekuatan militer serta dukungan geopolitik terhadap Israel.
Paradoks inilah yang membuat pengakuan terhadap Palestina sekaligus kuat dan rapuh. kuat secara hukum dan legitimasi moral, tetapi rapuh karena tidak memiliki instrumen politik dan militer yang bisa menjamin kedaulatan nyata.
Momentum atau Jalan Buntu?
Secara normatif, periode 2023–2025 jelas adalah momentum. Lonjakan pengakuan internasional menunjukkan bahwa norma self-determination semakin mapan dan mendapat legitimasi global. Ini selaras dengan teori konstruktivis tentang norm cascade (Finnemore & Sikkink, 1998), di mana negara mengakui Palestina bukan hanya karena kalkulasi material, tetapi juga karena tekanan moral dan reputasi.
Namun secara institusional, Palestina masih menghadapi jalan buntu. Mekanisme keanggotaan penuh di PBB tetap ditentukan oleh Dewan Keamanan, di mana Amerika Serikat konsisten menggunakan hak veto. Realitas ini mengingatkan pada kritik realis terhadap institusi internasional bahwa organisasi global tidak netral, melainkan bentuk dari distribusi kekuasaan (Waltz, 1979; Mearsheimer, 1994).
Dengan demikian, posisi Palestina berada dalam kondisi momentum normatif...