
SELAMA beberapa dekade terakhir, Bumi menghadapi lonjakan suhu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lapisan es di Kutub Utara mencair dengan cepat, gelombang panas melanda berbagai benua, dan pola cuaca ekstrem semakin sering muncul.
Semua ini membuat orang-orang menjadi waspada. Apakah pemanasan global yang kita alami saat ini bisa membawa konsekuensi yang tak terduga bagi masa depan planet ini?
Dari Kekhawatiran Zaman Es ke Krisis Panas
Pada awal 1970-an, serangkaian musim dingin ekstrem sempat membuat sejumlah ilmuwan menduga Bumi sedang menuju zaman es baru. Namun, di penghujung dekade itu, keadaan justru berbalik, suhu global meningkat. Sejak saat itu, pemerintah dan kelompok lingkungan di berbagai negara mulai gencar menekan emisi karbon untuk membalikkan pemanasan global.
Di tengah upaya tersebut, muncul pertanyaan baru: apakah pemanasan global sebenarnya menahan kita dari memasuki zaman es berikutnya? Dan jika tren ini berhasil dibalik, mungkinkah Bumi justru kembali membeku?
Bumi dan Siklus Alaminya
Sepanjang sejarah geologinya, Bumi mengalami perubahan ekstrem antara masa panas dan masa dingin. Faktor seperti perubahan orbit terhadap Matahari, pergeseran arus laut, hingga variasi komposisi atmosfer berperan besar dalam mengatur suhu global.
Zaman es terakhir berakhir sekitar 12.000 tahun lalu, menandai dimulainya periode interglasial. Namun peningkatan gas rumah kaca akibat aktivitas manusia membuat suhu Bumi naik jauh lebih cepat dibanding siklus alami sebelumnya.
Mencegah atau Memicu Zaman Es?
Sebagian ilmuwan berpendapat pemanasan global dapat menunda pendinginan besar berikutnya. Panas yang terperangkap di atmosfer berfungsi layaknya selimut, menjaga agar Bumi tidak kembali membeku.
Namun teori lain justru menyebutkan sebaliknya: pemanasan ekstrem bisa mengganggu sirkulasi laut, khususnya Arus Teluk (Gulf Stream) yang berperan menghangatkan wilayah Eropa. Ketika es di Kutub Utara mencair, air tawar yang mengalir ke Samudra Atlantik Utara dapat memperlambat arus tersebut.
Penelitian menunjukkan arus ini telah melemah sekitar 30% dibanding masa lalu. Jika terus menurun, Eropa berpotensi mengalami penurunan suhu ekstrem, semacam “zaman es mini” yang bersifat lokal.
Potensi Rekayasa Iklim
Sejumlah ilmuwan kini menyoroti potensi geoengineering, sebuah rekayasa iklim berskala besar sebagai cara untuk mengurangi pemanasan global. Salah satu metode yang banyak dibahas adalah Solar Radiation Management (SRM), yakni penyemprotan partikel ke atmosfer agar sebagian cahaya Matahari dipantulkan kembali ke luar angkasa.
Meski terdengar menjanjikan, para peneliti memperingatkan bahwa tanpa pengawasan ketat, SRM dapat menyebabkan “overcooling” atau pendinginan ekstrem di beberapa wilayah, menyerupai zaman es buatan manusia. Efek lain yang dikhawatirkan adalah terganggunya pola hujan dan sirkulasi laut.
Akankah Zaman Es Terjadi Lagi?
Hingga kini, para ahli belum mencapai kesepakatan pasti mengenai apakah membalikkan pemanasan global benar-benar dapat memicu zaman es baru. Studi dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) menegaskan perubahan iklim yang terjadi saat ini tidak akan pulih dalam waktu singkat.
Dengan kata lain, sekalipun manusia berhasil menekan emisi karbon, kemungkinan Bumi kembali membeku masih sangat jauh. Ribuan tahun dari sekarang, bukan dalam masa hidup generasi kita saat ini. (How Stuff Works/Swiss Re/Z-2)