KETUA Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochammad Afifuddin mengklaim keputusan lembaganya membatasi akses dokumen calon presiden dan wakil presiden bukan upaya melindungi tokoh tertentu. Termasuk, ujar dia, mantan presiden dua periode Joko Widodo.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
"Tidak ada yang dilindungi karena ini ada uji konsekuensi yang harus kami lakukan," kata dia merespons pertanyaan awak media ihwal dugaan keterkaitan polemik ijazah Jokowi.
Bantahan KPU ini juga merespons adanya kritik dan kekhawatiran dari warganet ihwal aturan pembatasan akses dokumen capres serta cawapres. Sejumlah warganet menduga ketentuan ini dibuat untuk melindungi Jokowi dan keluarganya.
Adapun data ijazah yang digunakan Jokowi untuk mendaftar presiden pada 2014 dan 2019 dipersoalkan. Belakangan, dokumen ijazah milik Gibran Rakabuming Raka dalam persyaratan cawapres juga digugat ke pengadilan.
"Gara-gara melindungi satu keluarga Solo," tulis pemilik akun Instagram @ket*** dalam konten berita yang diunggah @tempodotco.
"Ijazah Jokowi berarti palsu," tulis @kop*** di kolom komentar yang sama. Ada juga komentar dari pemilik akun @naj***, yang mempertanyakan ketentuan ini dibuat untuk sosok tertentu. "Gara-gara punya Gibran baru saja digugat?" tulis dia.
Keputusan KPU Nomor 731 Tahun 2025, ujar dia, disusun untuk menyesuaikan ketentuan yang termuat dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik. Dia mengatakan dalam beleid itu terdapat sejumlah dokumen yang diatur untuk dijaga kerahasiaannya.
"Misalnya berkaitan dengan rekam medis, kemudian dokumen sekolah atau ijazah," ucap Afifuddin.
Dia mengatakan lembaga penyelenggara pemilu tidak menyimpan data capres dan cawapres. Menurut dia, masyarakat bisa meminta dokumen yang dikecualikan itu ke lembaganya.
"Kalau hal yang tidak menyangkut data yang enggak diatur dalam UU Keterbukaan Informasi Publik, akan kami berikan," ucapnya.
Namun, dia berujar ada persyaratan tertentu untuk membuka dokumen yang diminta tersebut. Di antaranya harus mendapat persetujuan dari pihak yang bersangkutan atau atas putusan pengadilan.
Keputusan yang membatasi dokumen persyaratan capres dan cawapres ini diteken oleh pimpinan KPU pada 21 Agustus 2025. Ada 16 jenis dokumen persyaratan capres-cawapres yang dirahasiakan. Di antaranya adalah bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), daftar riwayat hidup, surat keterangan kesehatan, bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi (LHKP) hingga rekam jejak bakal calon.
Anggota Komisi II DPR Deddy Sitorus menilai keputusan itu tidak boleh diterapkan. "Itu melanggar hak publik untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya itu tidak bersifat rahasia," kata Deddy saat ditemui Tempo di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin, 15 September 2025.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengatakan, pembukaan akses dalam dokumen capres-cawapres merupakan bagian dari penerapan Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sehingga ia menekankan bahwa seharusnya semua pejabat publik harus terbuka dengan informasi yang melekat pada jabatannya.
"Bisa diakses publik itu kan bentuk dari hak warga negara (agar) enggak membeli kucing dalam karung," tutur dia.